1.
Melindungi keluarga dari kehilangan penghasilan jika pencari nafkah utama
meninggal dunia. (Ingat, malaikat Izrail tidak pernah menghitung usiamu).
Ini fungsi
pokok dari asuransi jiwa. Selama kita punya tanggungan nafkah (pasangan,
anak-anak), selama itu pula kita masih butuh asuransi jiwa.
Agar
asuransi jiwa mampu memainkan fungsinya sebagai ganti penghasilan, maka uang
pertanggungan (UP) jiwa harus cukup besar untuk memberikan bunga/retur sebesar
gaji per bulan jika didiamkan di deposito, obligasi/sukuk, atau reksadana
pendapatan tetap.
2.
Melindungi keluarga dari beban utang.
Mungkin
rumah yang kita tempati, kendaraan yang kita pakai, barang-barang yang kita
miliki, dan lain-lain, sebagian atau seluruhnya diambil dari utang. Utang
adalah warisan terburuk yang mungkin diberikan seorang suami dan ayah. Utang
bukan hanya membebani keluarga yang ditinggalkan, tapi juga orang yang
mewariskannya, sebab di akhirat pun utang tidak akan dianggap lunas begitu saja.
Agar
asuransi jiwa berperan membebaskan keluarga dari utang, maka UP jiwa minimal
harus sama besar dengan utang yang dimiliki keluarga itu.
3.
Memberikan sejumlah warisan yang berharga untuk anak-anak.
Para perencana keuangan kerap menyarankan batas masa kontrak asuransi jiwa hanya sampai tahap ketika anak-anak sudah mandiri atau sampai utang terlunasi. Mungkin ini yang wajibnya.
Tapi
merencanakan asuransi jiwa sebagai warisan pun tak kalah penting. Bagi keluarga sederhana, dimana penghasilan
mereka masih pas-pasan, sehingga belum bisa beli rumah atau kendaraan. Sekarang
harga rumah mahal. Mungkin mereka sanggup membayar cicilannya, tapi untuk uang
mukanya tidak. Adanya warisan, termasuk
dari uang pertanggungan asuransi jiwa, akan sangat membantu mewujudkan
kebutuhan ataupun keinginan mereka, suatu saat. Kalaupun UP jiwa tidak cukup
untuk beli rumah secara kontan, minimal bisa buat uang mukanya.
Bagi
keluarga superkaya pun, asuransi jiwa sebagai warisan, tetap bernilai
penting. Contoh: pemilik perusahaan punya 2 anak dewasa dan
mandiri. Dari 2 anak ini, hanya 1 orang
yang berkompeten melanjutkan perusahaan Ayahnya. Dengan punya asuransi jiwa yang
pertanggungannya sebesar nilai asset perusahaan, maka pertanggungan ini dapat
diwariskan pada anak yang kurang
kompeten melanjutkan perusahaan. Jadi perusahaan
tidak perlu dibagi 2. Tiap anak mendapat nilai warisan yang sama.
Walaupun
usia anak 55 tahun, apakah si anak akan menolak warisan ini?
Yakinlah,
anak-anak akan sangat berterima kasih kepada orangtua yang tetap
mengasuransikan jiwanya walaupun mereka telah dewasa.
4. Sebagai final
expenses (biaya kematian).
Meninggal
dunia itu butuh biaya. Untuk upah orang yang memandikan, untuk pemakaman,
makanan ringan untuk orang-orang yang melayat, untuk tahlilan, mencetak buku
Yasin, mengurus sertifikat kematian, dan lain-lain. Apalagi di perkotaan, tanah
pemakaman harganya mahal, bisa jutaan rupiah hanya untuk sewa selama tiga
tahun. Dan biaya tahlilan itu, bagi yang melaksanakannya, lebih mahal lagi.
Pilihannya
ada dua: apakah mau menyuruh anak-anak untuk membayar semua biaya itu, atau
mempersiapkan sendiri mumpung masih hidup. Asuransi jiwa dapat dipandang
sebagai salah satu cara mempersiapkan biaya terakhir hidup kita.
5. Menjadi
sedekah jariyah untuk terakhir kalinya.
Ini fungsi
tambahan asuransi jiwa yang jarang dikemukakan para perencana keuangan. Jika
fungsi pertama sudah lewat (anak sudah mandiri), fungsi kedua sudah berlalu
(utang sudah lunas), dan begitu pula fungsi ketiga dan keempat (anak-anak sudah
sangat kaya sehingga tidak butuh warisan apa pun dari orangtuanya dan tak
masalah dengan final expenses), maka UP jiwa bisa saja disedekahkan
kepada orang miskin, masjid, lembaga amal, atau kegiatan sosial. Ini akan
menjadi amal ibadah terakhir bagi yang bersangkutan, mengurangi catatan
dosa-dosanya, dan menerangi perjalanannya di alam keabadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar